Selasa, 05 Mei 2015

Jarum Yang Terlupakan

 FITSY 13 Januari

Kekhilafan yang tak sengaja kuulangi lagi akhirnya membuatku menulis tentang kejadian dua tahun lalu.

Hasil rongent tgl 13-01-2013

Alkhamdulilllah, Allah selalu Mengingatkanku jika aku berbuat salah. Hal remeh namun di lain kesempatan tidak boleh kuabaikan. Keteledoran yang berakibat fatal.
Bohong jika aku tidak terpuruk akibat kelalaianku.
Dimana perasaanku menghilang jika orang yang paling kusayangi harus kesakitan karena kealpaanku???
Sungguh,
situasi yang tak terduga tersebut sempat bikin aku frustasi.
Syukurlah tidak sampai membuatku putus asa.
Wajar jika gejala bipolar itu  menguat semenjak mengalami krisis kepercayaan diri dan tersadar bahwa itu bukan penyelesaian masalah.
Ups!
Terlalu berlebihan kalau menyebut itu gejala bipolar
walau kadang krisis pede itu
tergolong akut menurutku.
Ah! Aku tidak boleh terpuruk!
Usadane ora liya mung awak'e dhewe...
Bahwa semua adalah ketetapan ALLAH
untuk memperbaiki kesalahanku.
Dimana rasa syukurku?
Bahwa
Nikmat ALLAH
senantiasa terlimpah atasku...

Alkhamdulillah semua telah terlalui meski masih menyisakan rasa bersalah. Luka itu masih membekas di hati dan pemikiranku... Sermoga tidak terulang lagi...
 ***
Layaknya cerita yang menempuh klimaks untuk kemudian mengurai penyelesaian dari masalah.

Entah!
Kenapa aku bisa terlupa telah menaruh jarum dengan kaitan benang yang lumayan panjang.
Yakin ALLAH Yang Maha Mengatur saat jarum petaka itu tertancap, Ibu menggunakannya sebagai alas tidur.
Tidak biasanya karena pada hari lainnya kasur lantai itu hanya dibiarkan tergulung begitu saja.
Malam-malam sebelumnya, ibu hanya menggelar tikar untuk alas tidur selepas sholat Lail. Ibu 'nglakoni' yang dalam bahasa Jawa berarti ritual agar tercapai keinginannya.
Ya ALLAH! Apa yang aku khawatirkan, niatan beliau mendoa hanya untuk berharap pada makhluk-NYA yang tidak tau apa-apa. Agar aku takhluk lantas mengiyakan ajakan untuk berdampingan dengan seseorang itu.
Semoga Allah maafkan Ibu jika hal itu benar.
Memang keinginan menikah itu menguat pula padaku. Tapi?
Apakah bersama dia?
Sedang aku menyerahkan ketetapan hatiku pada ALLAH.
Aku pasrahkan beban rasa itu pada ALLAH. Dan... muncullah keraguan demi keraguan tentangnya. Sebenarnya aku ingin membuka hati yang akhirnya memutuskan tidak melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Hal yang membuatku ragu, mengapa harus kulakukan? Kalau aku tak sanggup, kenapa aku harus mengiyakan?
Jikalau aku patuh pada kehendak ortu yakni Ibu dan pamanku dari pihak ayah... hanya sebatas pada pernikahan bukan???
Padahal pernikahan adalah gerbang dimana nantinya bhaktiku yang paling utama pada suami. Dimana rasa hormatku jika sedari awal sudah ragu dengan kepemimpinannya?
Terus nilai  ibadahnya dimana?
Apakah hanya sampai pelaminan saja?
Lalu selanjutnya bagaimana?
Hal yang selalu jadi pertimbangan setiap kali diriku akan mengambil keputusan. Ah! Tidak dapat mungkir bahwa aku masih mementingkan rasa dalam setiap keputusanku. Aku akan putuskan yang aku yakin. Jika aku yakin menolak , ya tolak saja!
Setiap keputusan mengandung konsekuensi.
Dan dengan keyakinan itu pula aku bertanggungjawab penuh atas seluruh konsekuensi dari keputusan yang kuambil sendiri.
Setidaknya itulah yang kupelajari tentang arti suatu tanggung jawab... yakni amalan di hadapan Pemilik Arsy kelak di hari peng-hisab-an...


Sungguh, aku sangat menghargai mereka yang mantap mengiyakan dan rela menjalani pernikahan meski tanpa rasa. Hanya berharap bisa membahagiakan ortu. Berkah ALLAH untuk mereka. Sahabatku menjalani hal sedemikian dan nyatanya bahagia.
Beda melihat pada diriku yang berdalih :; mana mungkin membuat ortuku bahagia jika aku sendiri tidak bahagia???
Coba memaknai kembali pengertian bahagia yaitu merasa cukup atas apa yang telah ALLAH Berikan!
>_<
Tapi, aku tidak bisa berpura-pura menyukai hal yang tidak kusukai ?!
[Ehm] mengambil dialog di sinetron itu :

Rasa boleh memilih
tapi rasa tidak bisa dipaksa
Mungkin terkadang diingkari
Ayolah!
Kebersamaan yang kuharapkan..
Tidak ingin sendirian...
Satu langkah dalam tujuan
Menggapai Ridha ALLAH hingga akhir jaman...
Sudahlah!
Aku tak perlu mengait-ngaitkan masalah satu dengan yang lainnya.. meski perlu diurai juga!

Aku tercenung! Lama kupandangi jarum berbenang yang lupa kutaruh itu. Yang semalam sempat melukai siku Ibu. Tanpa darah... hanya nyeri seperti digigit semut.
Tapi...
Aku mengambil jarum yang lain dan aku cermati perbedaannya...
Hatiku berdesir! Jarum yang ada benangnya itu patah!
Kebaikan demi harapan kebaikan kulangitkan pada ILLAHI ROBBI
Aku mencermati siku ibuku, bekas tusukan jarum itu... dengan jariku yang kuoles minyak kelapa murni..
Berkali-kali aku bertanya apakah terasa nyeri...

Aku tau riwayat diagnosis dokter untuk test darah Ibu, ada hipertensi... seburuk apapun keadaan, aku harus membuat Ibu tidak mengalami kejutan. Entah, situasi membuatku mikir bagaimana cara  memberitau bahwa jarum yang dicabutnya selagi bangun dari tidur tersebut patah.
Ibu merasakan kepalanya berat dan memilih ke bidan desa sebelah untuk periksa. Hasilnya; tensi darah ibu naik.. Selain itu meriang karena kena flu-batuk.
Ah! ini yang kutakutkan >_<
Aku boleh lega bukan hanya mengenai jarum yang patah, tapi kejutan lain menyertai bahwa Masku ke Klaten [aduh?] acara apa lupa. Pokoknya ritual sedekah yang diperuntukkan bagi keluarga yang meninggal. Di rumahnya Budhe kalao nggak salah. Masku kesana, padahal  Ibu sudah pamitan nggak kesana pada Budhe karena saguh rewang ke tetangga  yang sekaligus Murobbi  punya hajatan aqiqah cucunya.

Pagi harinya, Ibu tak tahan periksa ke Puskesmas sambil membawa obat dari bidan dan potongan jarum yang patah. Pihak medis tidak berani melakukan tindakan lebih jauh meski  cuma operasi lokal karena jarumnya tidak terlihat pandangan mata normal. Pihak medis pun menyarankan Ibu untuk rongent sekaligus tindakan selanjutnya di RSUD. Untuk itu, Ibu konsultasi pada tetangga yang jadi pegawai analis di RSUD dan menyanggupi mengurus administrasi RS yang mungkin akan berbelit.
Untuk pergi ke RSUD dan mengejar waktu, Ibu sambat sama Omku, minta diantarkan.  Karena ada keperluan lain, kami ditinggal. Gampang kalau cuma pulang mah.

Rongent dan tindakan bedah minor demikian menyita waktu. Antara enak dan tidak enak, perasaanku campur aduk. Jarumnya belum berhasil diketemukan... Oh, My ALLAH...

Rongent kedua dilakukan dengan pemberian tanda di siku ibu. Yang terlihat dua silang dimana jarum tersebut berada. Yang kedua ini dan tindakan selanjutnya, pegawai di bagian administrasi menyarankan untuk memakai ASKES karena ibuku punya hak waris pensiunan pegawai negeri dari Ayah. Aku harus mengurus administrasi untuk rongent. Yang terjadi kemudian, Asisten dokter yang menangani belum juga berhasil menemukan jarum yang dimaksud.

Idih! para co-ass dan dokter muda yang menangani ibu mengijinkanku masuk... yang kulakukan adalah meyakinkan ibu menjalani tindakan yang lebih serius. Kulihat darah dan darah, siku ibu disayat-sayat. Aku menguatkan hati. Mereka tidak tau kalau aku pernah punya cita-cita jadi perawat atau dokter jadi cukup tegar menghadapi pemandangan yang bikin ngeri itu >_<

Yah... dengan berat hati, aku harus memutuskan untuk menyetujui pembedahan dengan anestesi pada keesokan harinya.

Dalam kesendirian, nyata benar kan kalau aku butuh dukungan? Tapi, ternyata aku masih bisa! Toh, tidak ada yang tahu ibu dirawat di RS selain Om dan tetangga yang pegawai bidang analis. Aku bingung merasai antara geli campur takjub, masalah sepele yang ternyata sampai sebegitu penanganannya ?_?

Aku pulang sebentar setelah ibu sudah dapat kamar di kelas satu. Pensiunan lebih tepat di ruang nomor satu atau VIP, begitu saran tetanggaku. Aku memutuskan yang terbaik untuk Bundaku, yang pasti seperti yang beliau pikirkan, dapat pelayanan yang baik dengan biaya terjangkau itulah pilihan kamar nomer satu.
Aku mengambil berkas-berkas yang mungkin diperlukan untuk administrasi disamping pakaian ganti untukku dan ibu. Baju hangat yang kusiapkan malah kehujanan sewaktu berangkat. Sebelum ke RSUD, aku rencananya mau mampir dulu ke rumah Om untuk ngarohke dan rencananya mau memberitahukan kondisi ibu pada Om yang lain. Hajatan untuk almarhum ayah sempat membuatku gamang apalagi keadaanku yang basah kuyup meski menggunakan payung sehingga tidak jadi menemui Omku hanya bertemu sepupu dan bulik. Syukurlah, Di dalam bus  pakaianku mengering dengan sendirinya namun batuk-flu makin menyiksa.

Makan sore yang enggak biasa di RSUD sebelum tengah malam nantinya ibuku menjalani puasa.

Malamnya. karena tidak diberi obat sama sekali, siku ibu yang dibedah dan diutheg-utheg tadi terasa begitu perih. Tidak mengapa asal beliau bisa tertidur. Aku yang nggak bisa tidur setiap kali ibuku bersuara atau bergerak.  Memastikan beliau tidak dalam keadaan darurat.

Meminta Maaf

Tidak lupa diriku meminta maaf pada bundaku saat dipersiapkan untuk pembedahan pagi-pagi benar  hingga membuatnya mengalami semua ini. Ibuku juga meminta maaf karena merepotkanku..  Sakit yang diderita, Ibu sadari karena merasa berbuat salah. Ah! Tidak ada air mata yang jatuh, kami tegar. Ini cuma jarum! Malah ada yang nakut-nakutin kalau jarum bisa bergerak menurut aliran darah. Bisa saja hari ini di siku,  hari esok sudah di ubun-ubun >o< Untunglah, tidak terjadi pada Ibu.

Saudara sepupu laki-laki beserta istrinya turut meringankan kalangkabutku mengurus administrasi. Mereka tahu justru dari tetanggaku itu yang sekaligus teman sepermainannya. Kartu ASKES Ibu harus diperbaharui agar bisa di-online-kan. Jadi, sepupuku dan istrinya membantuku mengurusnya. Lagian, kalau aku repot, nggak bawa kendaraan. Hah!  Sikapku yang tertutup dan pakewuh meminta bantuan memang diajarin oleh Kanjeng Ramaku. Mereka maklum itu. Aku agak tenang mendampingi ibuku menuju kamar operasi.

Lumayan tegang menunggu operasi. Istri sepupuku sempat mendengar teriakan ibuku dan aku juga. Mungkin ibu tidak sanggup kalau hanya bius lokal hingga dilakukan pembiusan total. Lafal doa yang sedang kuperhatikan karena aku berharap dilancarkan. Batuk-flu bikin aku tidak betah diam. Rasa ngantuk dan pusing jadi satu. Minyak habbat sudah hampir habis dan takutnya malah bikin aku dehidrasi kalau terus mengeluarkan lendir sampai aku meminta maaf dengan seorang ibu sepuh yang berada di sebelahku. Ia  menunggui kerabatnya yang juga sedang operasi. Ibuku yang keluar lebih dulu. Suster yang bertugas membawanya menyuruh kami memberi rangsangan pada ibu agar segera tersadar.

Pasca Operasi

Sepupu dan istrinya pamitan setelah ibu berada di ruangannya. Keadaannnya masih setengah sadar, bicaranya cadel, dan kadang-kadang meracau. Aku mencoba untuk berbicara lugas dan menggugah kesadarannya.  Sedih, Ibu nanyain orang-orang yang peduli padanya termasuk Mas. Duh, dua hape yang kubawa satu pulsanya habis tapi aku masih bisa men-charge. Sedang hape lain masih banyak pulsanya tapi lowbat >_< Meski sebentar, rupanya Ibu lega bisa mendengar suara anak lelakinya. Tapi aku jadi tidak bisa mengabarkan kondisi ibu yang sebenarnya karena hapenya keburu mati.

Aku lega perawat bilang kalau lendir batuk yang bercampur darah adalah luka karena selang oksigen. Bukan radang atau penyakit berbahaya yang akan menghilang dengan sendirinya. Sempat cemas juga di keesokan hari, lendir bercampur darah itu keluar lagi. Atas saran Suster, minuman putih hangat bisa menanggulanginya dan Alkhamdulillah memang  manjur.

Sewaktu  kondisi ibu masih meracau, Om telepon menanyakan kapan kami bisa pulang. Melihat kondisi Ibu, dan mendengar pengalaman tetangga pasien di sebelah, tidak mungkin ibuku pulang hari ini. Kesadarannya akan penuh setelah selang dua jam. Masa pemulihan ibuku paling tidak sampai malam nanti. Jadi, aku matur pada Om tidak tahu kapan ibuku dibawa pulang tapi aku merasa menyinggung perasaan beliau dengan keberadaan kesediaan Om yang lain yang akan menjemput. Ah, aku malah keinget ayah atas sikap Omku ini...
Kupandang ibuku sudah mulai tersadar. Tidak ada orang lain. Rasa yang menyesak di dada sedari tadi akhirnya tumpah ruah. Aku memunggungi Ibu. Aku membekap mulutku. Tangisanku tidak boleh didengar dan disaksikan selain aku. Aku menjaga agar pasien sebelah juga tidak tahu apa yang kuperbuat meski tidak bisa menjamin ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Tirai yang memisahkan ranjangnya dan ranjang ibu meski ditutup masih terlihat bayangan lumayan jelas di sebaliknya.

Aku masih harus mondar-mandir ngurus administrasi. Kegalauanku sedikit terobati dengan senggolan teman dumay-ku yang lagi berkunjung ke Boyolali. Katanya sedang  ada kunjungan sama temen-temen dan mencicipi masakan khas Boyolali, yakni soto.

Kunjungan dokter bikin aku tersenyum getir karena banyolan mereka sebagai pelepas ketegangan, keluar dari belitan masalah jarum di siku ibuku. Mereka memperlihatkan jarum yang tertinggal itu. Jarum sekecil itu sudah berhasil bikin mereka pusing
>o<
Apalagi aku????
Jarum yang dalam keadaan normal tidak sanggup mereka patahkan bisa patah cuma dalam kondisi berbaring dan hanya memakai siku???

Menjelang Maghrib, ibu sudah sepenuhnya tersadar dan ingin melaksanakan sholat. Beliau turun dari ranjang dan seperti ikan ketemu air begitu ke kamar mandi. Maklum seharian belum mandi. Aku menahan gerakannya beserta selang infusnya sambil ribut menutup pintu dan tirai. Pasien sebelah sudah diperbolehkan pulang.
Makan sore sekaligus buka puasa ibu dilalui penuh syukur dan kenikmatan tiada tara.

Ranjang sebelah kosong tapi aku tidak tertarik menggunakannya untuk tidur.
Tidak mau!!!!!
Aku tidak berharap akan berbaring di Rumah Sakit sebagai pasien meski fasilitas dan keindahannya melebihi rumah mewah berbintang lima sekalipun [E H ?] Semoga tidak akan pernah. Aku tetap memakai kursi untuk sekedar memejamkan mata.
Lewat ranjang kosong itu, aku mempelajari penggunaannya. Iya, ranjang portable. Kapan lagi bisa mempelajarinya. Mungkin Omku dan keluarganya merasa disepelekan dengan tingkahku yang over acting pada ranjang kosong itu.  Aku memang belajar bagaimana meninggikan di bagian kepala agar bisa digunakan untuk bersandar, terus bagaimana meninggikan dan menurunkan  agar kaki tidak terlalu menggapai-gapai waktu turun dan tidak terlalu tinggi kalau mau naik, sampai memasang dan melepas lengan sisi kanan dan kiri ranjang.

Sesekali online FB terutama mengikuti kelas online
Bagaimanapun, yang biasanya hanya lolos administrasi dan waktu itu aku masuk lima puluh besar lomba flashfiction sudah merupakan prestasi yang luar biasa bagiku. Bahkan aku taunya dari bunda Rini Bee yang memberi selamat padaku di dinding BAW.
'Menjemput Pelangi' benar-benar penghibur hatiku...

***
Song Title : Pandai Bersyukur

Vocal By : Teddy SNADA

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah perhatian untuk blog ini
Semoga Bermanfaat...
Terima kasih atas kunjungannnya...