Senin, 19 Oktober 2015

Sadar Dengan Merk Lokal #SmescoNV

Nama sebagai Identitas

Dari blogwalking yang kuikuti di blog traveller milik Bunda Katherina, jadi tau tentang lomba blog ini

Apa yang aku ketahui tentang SMESCO?
0_o padahal aku dah diberitau dari blog tersebut..
Maksudku... seandainya, seumpama, jikalau diberi pertanyaan yang belum kutau, gitu ##
Sebelum gugling, sekilas dari namanya jadi menebak-nebak kalau Smesco adalah nama asing. 
Tak dinyana setelah searching, SMESCO itu suatu establish yang memuat karya produk lokal seluruh nusantara.
Jadi berandai-andai seumpama SMESCO punya nama 'KARYA NUSANTARA', misalnya... maka sebelum menelisik lebih lanjut sudah 'ngeh' kalau itu hal pasti tentang Indonesia.

Small and Medium Enterprises and Cooperatives merupakan nama asing dari KUKM [= Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah].
Sebagai upaya globalisasi, dan UKM melakukan trade marking dengan menggunakan bahasa yang dianggap mendunia. Bukankah bahasa Inggris  mendunia?
Padahal bahasa Indonesia bisa mendunia.. ya... sepertinya enggak rela kalau Inggris saja bisa mendunia apalagi Indonesia #_#
Bangunan bernama lokal pun bisa mendunia, sebut saja =
 'Burj Khaifa!'
 'Taj Mahal!'

Atau kita bisa menyebut =
'Borobudur!'

Boleh, dong kita berbangga dengan memakai bahasa Bumi Pertiwi...!
Lantas, bukan berarti kita tidak mengenal bahasa asing... Toh, bahasa merupakan alat komunikasi penting yang bisa dipelajari. Dengan mengenal beragam bahasa merupakan cara mudah berinteraksi dengan lebih banyak orang. 
Mungkin itulah yang dilakukan KUKM dengan nama SMESCO 

 Bangga Menggunakan Produk Dalam Negeri

Negara Jepang merupakan contoh konsumen loyal dengan produk dalam negeri. Dengan politik dumping semasa jaman kolonial, Jepang mengharuskan produk berkualitas dengan harga tinggi untuk dalam negeri. Sebaliknya, produk yang dipasarkan ke luar negeri justru dibandrol dengan harga lebih murah agar bisa menghadapi persaingan global. Negara Jepang mementingkan juga kualitas produk dalam negeri. Tak heran kalau produk Jepang terutama elektronik merajai pasar dunia.
Dalam kajian MQ Pagi, dari penuturan WNI [Warga Negara Indonesia] yang tinggal di Jepang jadi tau kalau kepemilikan barang mewah dibatasi dan diawasi. Pemilik barang mewah disana dikenai beban pajak yang tinggi. Bayangin! Kendaraan pribadi harus punya tempat parkir atau garasi tersendiri. Kalau ketahuan kendaraan pribadi tersebut digeletakkan begitu saja dan disinyalir memakai bahu jalan maka dikenai sanksi denda yang tak sedikit.
Pengaruh tersebut membentuk perilaku selektif bagi penduduk negeri Jepang sana.  Kalau produk dalam negeri saja mahal apalagi dengan produk luar negeri karena barang yang masuk tentu dikenai bea cukai yang tinggi.  Sehingga dalam memenuhi kebutuhan mereka lebih selektif dibanding negeri kita yang telah lama dijejali produk melimpah dengan harga kompetitif.
Begitulah...
Rupa-rupa produk dengan harga bervariasi tersebut membentuk perilaku konsumtif di negara kita. Hingga menjadikan penggolongan baru sesuai kemampuan dan pilihan hidup. Golongan tersebut adalah :
  • Kelas Atas
  • Kelas Menengah
  • Kelas Bawah
Bahkan seiring perubahan, kelas tersebut masih dapat dipecah dengan kelas menengah atas dan kelas menengah ke bawah.
Kadang, sebutan itu jadi kabur jika dilihat dari perilaku konsumtif karena orang sering beranggapan produk yang dipakai adalah sebuah prestise.
Dalam hal ini, kelas bawah yang dianggap tidak mampu membeli barang mahal bisa berupaya memilikinya demi julukan sebagai orang kaya. 
Emang ngerampok?
Bisa jadi... tapi adakalanya dengan produk tiruan, kita bisa membeli merek ternama dengan harga murah. Dan yang mempelopori barang aspal [= Asli tapi palsu] alias imitasi adalah produk-produk dari China.
China tau betul memanfaatkan konsumen yang sok kaya ini.
Padahal...
Siapa bilang produk lokal tidak berkualitas?

Bahkan kita bisa menjadi konsumen cerdas dengan memilih produk dalam negeri. 

Keren kan..?!

Dengan memakai barang produksi dalam negeri, kita bisa menggiatkan jiwa pengusaha di negeri tercinta @_@
Setidaknya mengurangi jumlah pengangguran dan menjadikan angkatan kerja potensial mempunyai peluang memperoleh nafkah dengan hasil kerajinan tangannya sendiri @_@
O.. Ho.. Ho.. kenapa tidak mulai dari diriku #_# Tuing.. tuing! Thingking!

Kendalanya pasti harga yang bersaing karena produk lokal dengan jaminan mutu tidak dihasilkan dengan serta merta.
Perijinan dan hak paten seringkali jadi batu sandungan bagi perajin. Kalau sudah dipatenkan harusnya ada jaminan mutunya dan hal tersebut memerlukan biaya. Terus ongkos produksi pun mempengaruhi perhitungan harga jual untuk mendapatkan keuntungan.
Hak paten ini seringkali kita kecolongan hingga negara lain yang terlebih dulu mengakuinya.
Nah!
Jika barang sejenis bisa diperoleh dengan harga lebih murah di pasaran, tentu konsumen akan memilih yang lebih murah. Apalagi mutunya juga bagus. Sesuai prinsip ekonomi yang berlaku yakni dengan pengeluaran sekecil-kecilnya untuk mendapat barang yang semurah-murahnya. Jadi konsumen selektif lah seperti di Jepang 0_o

Lantas kapan beli produk dalam negeri?

Baiklah!
Kenapa tidak memulai dengan memakai produk negeri sendiri!?!
Tentu kalau yang ini, mah 0_o
Mulai  dari yang sederhana saja yang kupakai sehari-hari seperti pasta gigi, shampo, dan perawatan kulit. Sebisa mungkin produk Indonesia asli bukan pula buatan Indonesia yang berlisensi luar negeri.
Aneh memang! Bahannya dari kita, yang buat orang kita, yang beli pun kita-kita juga tapi keuntungannya dikeruk ke lain ranah hanya karena telah memiliki merk.
Untuk sabun mandi, diriku belum menemukan yang cocok dengan kondisi kulit yang sensitif. Ada yang sesuai tapi harganya lumayan lebih mahal sedangkan pemakaiannya juga boros.

Branded main untuk kosmetik yang jarang kupakai karena tidak terlalu pusing dengan masalah penampilan jadi aku  lebih mementingkan perawatan kulit yang kupakai adalah produk tradisional yang dikemas modern.
Soal bahan tradisional memang menjadi pertimbangan utama bagiku karena kita paling kaya dibanding negara lain. Keuntungan plus lain yang tidak sekedar dihitung dari materi bahwa bahan yang didapat dari tanah sendiri itulah yang terbaik bagi diri. Dan sudah diakui secara nasional bahkan dunia, dua label besar yang mengangkat tradisi budaya sendiri. Siapa yang tidak kenal Ibu Mooryati Soedibyo dengan Ibu Martha Tilaar?
Sempat tercenung...
Dua branded ternama tersebut saling bersaing, selain secara produk juga berlomba menjadi sponsor resmi ajang kontes kecantikan yang menembus Miss Universe untuk label M*stika Rat* dengan menggelar debut awal 'Puteri Indonesia.
Sedangkan label 'Sar* Ayu untuk Miss Indonesia yang pemenangnya bakal dikirim ke Miss World
Kontes yang jadi pro-kontra.
Sebenarnya ajang tersebut baik selama tidak menjadi ajang eksploitasi keindahan wanita semata... seperti awal mula ajang kelas dunia tersebut digelar yang dimaksudkan untuk promo underwear. [ups!*]

Soal makanan favorit saya yang bisa jadi kesukaan semua orang 0_o mie dan nasi goreng... menu yang sengaja kubatasi demi kesehatan #_# Syukurlah telah dikuasai merk lokal. Menjadi label besar yang selalu berinovasi dari waktu ke waktu sehingga bisa mendunia.
Deretan merk mie yang dikenal luas bahkan jadi Top of Mind, sering disebut meski bermerk lain.
Hal lazim yang akhirnya tidak kusukai sebagai penjual eceran demi mendengar merk tertentu untuk mie padahal maksudnya merk yang lain seperti beli mie dalam cup dengan sebutan 'P*p Mie' padahal yang dipegangnya S*dap Cup..
Atau menyebut 'Sar*mie' padahal yang dibeli justru 'Ind*mie'
>_<
Whatever, tidak ada yang lebih membanggakan selain memakai produk negeri sendiri dengan jaminan mutu yang telah diakui dunia pula...

***
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar anda adalah perhatian untuk blog ini
Semoga Bermanfaat...
Terima kasih atas kunjungannnya...